Senin, 21 November 2011

Seputar Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAAW


Mengistimewakan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw.


Al kisah dijaman Khalifah Harun ar Rasyid ada seorang pemuda yang mempunyai kelakuan buruk di kota Bashrah, penduduk kota memandang rendah padanya, karena perilakunya itu. Hanya saja, pemuda ini mempunyai kebiasaan unik; setiap bulan Rabi'ul Awal tiba (bulan Maulid), dia menyambutnya dengan suka cita, membersihkan badan, memakai pakaian yang rapi, mengadakan walimah, dan membaca kisah maulid Nabi Saw. dalam acara itu.

Kebiasaan itu berlansung dalam waktu yang lama. Pada saat pemuda itu wafat penduduk kota mendengar suara dari angkasa; 'wahai penduduk kota Bashrah datanglah, dan layatlah wali Allah Swt. Sebab dia memiliki kududukan terhormat disisi-Ku. Kemudian penduduk kota melayat, dan menghadiri pemakaman pemuda itu. Pada saat penduduk Bashrah tidur, mereka bermimpi melihat pemuda itu berjalan dengan gagahnya diatas hamparan kain sutra. 

Pemuda itu ditanya, dengan apa engkau mendapat keutamaan ini? Dia menjawab dengan mengagungkan dan mengistimewakan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw.


Membaca maulid Nabi Saw

 

Dikisahkan pada masa Khalifah Abd Malik bin Marwan ada seorang pemuda yang berwajah tampan dan berperawakan menawan di Kota Syam (Syiria). Dia mempunyai kebiasaan menunggang kuda. Suatu hari, kuda yang dia tungganginya lari dengan kecang, dia tidak mampu menghentikan kudanya itu. Kuda tersebut berlari kearah rumah khalifah, dan menabrak putra sang khalifah, hingga akhirnya wafat. Kejadian itu sampai ke telinga khalifah.
Lalu khalifah menyuruh si pemuda di datangkan kehadapannya. Ketika pemuda itu hampir tiba di hadapan khalifah dia berkata dalam hati; 'seandainya Allah Taala menyelamatkanku dari kasus ini, aku akan menyelenggarakan  walimah yang meriah dan aku akan membaca maulid Nabi Saw. pada acara itu.

Setelah pemuda sampai ke hadapan khalifah, khalifah memandanginya.  Lalu khalifah tertawa setelah terbakar api amarah.

Kemudian khalifah bertanya; 'Hai Pemuda kau pandai ilmu sihir ya? Tanya khalifah sambil tersenyum.

'Tidak, demi Allah duhai Amirul mukminin', jawab si pemuda.

Khalifah berkata: 'Aku telah memafkanmu, tapi katakan padaku kau membaca apa?

Aku berkata dalam hati, seandainya Allah Taala menyelamatkanku dari kejadian yang menakutkan ini, aku akan mengadakan walimah maulid Nabi Saw., jawab si Pemuda.


Ibrah dari Marga-marga Para Sadah



Nama-nama para leluhur Haba'ib, bukan sembarang nama. Al Habib Muhammad Lutfi bin Ali Yahya mengatakan, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari nama-nama para leluhur Haba'ib. Ketua Umum MUI Jateng yang getol menyebarkan pesan persatuan dan kesatuan bangsa itu, memulai dari nama Al Hadad.

Kata Al Habib M. Lutfi: ‘Alaikum bi al Hadad'’: Anda hidup harus siap ditempa. Kalau Anda bisa menggladi diri berarti: Alaikum bi al Yahya: Anda Hidup, tahu arti hidup. Tahu nilai hidup. Orang yang tidak pernah menempa diri, tidak akan tahu arti hidup, akhirnya hidup untuk makan. Setelah itu: wa’alikum bi al Faqih; kalau Anda tahu arti hidup Anda akan tahu hukum. Maka Anda akan: bil Bafaqih, Anda akan menguasai sebenarnya arti hidup. Kalau Anda faham: Alaikum bi al Athas, penyakit dalamnya hilang, mental kuat.

Kalau penyakit lahir-dalam bersih: ‘Alaikum Ba ’Abud, Anda akan jadi orang Ahli Ibadah. Kalau Anda jadi Ahli Ibadah: Alaikum bi Syihab, Anda akan bercahaya dan memancarkan cahaya.  Kalau Anda ibadahnya luar biasa: Alaikum bi Jamalullail , Anda tidak akan menyia-nyiakan bangun malam: tahajud.

Kalau Anda bangun malam; ‘alaikum bil ‘Idrus, keliling melihat keadaan para sadah (sayid-sayid) Alawiyin dan kaum muslimin lainnya. Kalau Anda sudah ‘Idrus: fa ‘alaikum bi as Saqaf, mengayomi. Kalau sudah mengayomi baru Anda akan menjadi: Syekh Abi Bakar bin Salim. Guru dan bapak dari para Sadah. Oleh sebab itu jangan saling merendahkan "al" (marga) lain, pungkas Al Habib.


Al Fana : Dan Tahapan-Tahapan Menuju Maqam Fana



Fana Dalam bahasa jawa berarti sepi, sunyi. Sementara fana dalam diri seseorang berarti besrihnya hati dari segala bentuk-bentuk keterkaitan, kebergantungan  kepada selain Allah Swt. Orang-orang yang ada dalam maqamatil fana (kedudukan fana), mereka  menuju kepada Allah Swt., tidak terkait, terpaut, kepada bentuk apapun. Bahkan pada kelebihan-kelebihan yang diberikan pada dirinya oleh Allah Swt., seperti inkisyaf, terbuka dan dapat mengetahui segala sesuatu. Dalam bahasa jawa inkisyaf itu adalah weruh sajeroning winara, mengetahui apa yang akan terjadi.

Tapi sebetulnya mengetahui sesuatu yang akan terjadi itu bukan bentuk kekasyafan yang hakiki, yang sebenarnya. Karena hakikat al kasyfi, hakikat dari weruh sajeroning winara tujuannya adalah untuk memebenarkan apa yang dibenarkan oleh syariat. Sehingga orang-orang yang dibuka penghalang hatinya (hijab) atau mendapatkan kekasyafan dapat melihat syariah bukan hanya kulitnya saja.

Ibarat melihat lautan sampai kedasar lautan, tidak sebatas melihat permukaannya saja. Sehingga mengetahui mutiara-mutiara yang terpendam didasarnya. Itulah sesungguhnya kekasyafan, bukan untuk menebak atau membuka rahasia orang. Justru orang yang bibuka hijab oleh Allah Swt, akan menutupi kekasyafannya. Karena dengan dibuka hijabnya  sehingga mereka bisa mengetahui aib, kekurangan dirinya sendiri yang menjadi penghalang-penghalang menuju Allah Swt. Dengan bersihnya hati, mereka dapat menerobos, menembus rahasia-rahasia Allah Swt. yang hanya diketahui orang tertentu.

Gambaran kekasyafan atau dibukanya hijab, seumpama dokter, dengan alat-alat canggih yang dimilikinya dapat mengetahui penyakit-penyakit yang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak diketahui dengan panca indra. Barangkali dapat dikatakan saat ini ilmu pengetahuan telah membuka inkisyaf secara saint. Seperti sinar X yang ditemukan tokoh-tokoh ilmuan bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Dengan bantuan sinar X seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang tidak tampak, seperti benjolan-benjolan dalam tubuh yang tidak pada tempatnya. Benjolan penyakit yang tidak tampak pada permukaan kulit.

Demikian juga cairan-cairan dalam kepala bisa dilihat dengan bantuan sinar X. Itu baru ilmu yang secara lahir diberikan kepada manusia. Ilmu yang secara umum bisa dipelajari di bangku sekolah.  Tapi sinar X yang diberikan pada orang yang makrifatnya kuat, yang telah dibuka hijabnya, tidak sebatas itu. Lebih jauh pandangannya. Karena mereka telah menggapai mutiara-mutiara yang ada dalam syariat Allah Jala Wa’ala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Maka dengan ketajaman makrifatnya yang luar biasa, bukan suatu hal yang mustahil dapat mengetahui yang tidak tampak bagi keumuman orang.

Dengan sinar X saja seseorang bisa mengatahui tengkorak dan tulang manusia. Yang ganteng, yang cantik kalau direntogen yang terlihat  bukan cantiknya lagi atau ganteng lagi, yang terlihat tengkoraknya dan tulangnya. Begitu pula ilmu kasyfi, bilamana orang sudah dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan bisa melihat tulang-tulang yang ada dalam diri manusia. Cuma berbentuknya lain, apa? Yang meninggalkan shalat, yang berbuat maksiat, kelihatan sekali bentuknya tidak lagi membentuk kegantengan atau  kecantikannya, yang kelihatan tulang belulangnya, Cuma dalam bentuk yang lain. Kalu kita bertanya, apa manusia bisa seperti itu? Kalau memandang manusianya tidak mungkin bisa, tapi kalau Allah Taala menghendaki dan memberinya, tidak ada yang mustahil.

Jangankan seorang mukmin, para pembesar tokoh agama dijaman Firaun, mereka tidak beriman, mereka bisa mengetahui akan lahir seorang nabi yang  akan melawan Firaun. Karena takutnya, Firaun membunuh setiap anak yang lahir. Mengapa Firaun melakukan hal itu? Karena dia mempercayai apa yang dikatakan oleh tokoh dalam agamanya. Dan terbukti itu benar, dengan lahirnya nabi Musa as. Demikian di jelaskan dalam al Quran. Nah orang seperti itu saja bisa diberi keanaehan, kelebihan oleh Allah Swt, apalagi orang yang beriman, yang menyebut ‘lâilâha illallah’.

Orang yang hatinya dihiasi oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang hatinya disinari oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang dalam hatinya terukir kata ‘lâilâha illallah’. Cahayanya menerangi matanya, bisa menerangi mulutnya, bisa menerangi lidahnya, bisa menerangi perilakunya. Sehingga seluruh anggota tubuhnya bisa dikendalikan. Karena apa? karena ukiran ‘lâilâha illallah’.

Sehingga hatinya selalu kembali kepada Allah Swt. Malu rasanya kalau kita duduk berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, Malu rasanya kalau kita duduk membuka aibnya orang, malu rasanya kita mempercayai omongan orang yang menjelek-jelekan orang lain.
Itu semua tidak akan terjadi pada orang yang dalam hatinya telah terukir ‘lâilâha illallah’.

Ketika dia sujud mengucapkan: ‘subhâna rabiya al a’la wabihamdih’, maha suci tuhanku, dan segala puji baginya, bukan hanya sekedar sarat dalam shalat, atau karena itu peraturan shalat. Bacaan-bacaan itu diucapkan dengan pengagungan dan pengakuan yang sebenar-benarnya. kata-kata itu di ucapkan dengan betul-betul. Dirinya hilang (fana), sehingga mereka tidak pernah mengatakan siapa saya, saya si A, saya, si B, saya bisa ini, saya bisa itu, tidak. Dirinya hilang, yang ada adalah Allah Swt.

Dalam kesehariannya mereka dapat membawa buahnya ruku, buahnya sujud, buahnya fatihah, sehabis shalat yang dilakukannya. Itulah diantaranya yang dimaksud dengan fana.