Jumat, 04 November 2011

MEMILIH PANUTAN

Bersahabat dengan seseorang, mestinya harus selektif agar dapat berpengaruh positif dalam keseharian, apalagi untuk berguru kepada orang yang pandai, alim, dan intelek, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan dirinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut untuk dijadikan contoh dan panutan. Tidak peduli apakah dia seorang ustadz, kiai, cendekiawan muslim, atau bahkan syaikh sekalipun manakala masih menuruti kepentingan nafsunya, adalah sangat tidak layak untuk diikuti jejaknya.

Kepentingan nafsu seringkali justru dijadikan umpan setan untuk berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama dan hal-hal yang suci. Dalam artian, mereka yang berselimut kesucian, keulamaan, kecendekiawanan, jika masih menuruti hawa nafsunya, seperti popularitas, riya’, takjub diri, ingin dipuji, takabbur, egois, berarti ia tetap saja seorang yang bodoh.

Sebaliknya seseorang tidak bisa disebut bodoh, jika mampu mengekang hawa nafsunya, egoismenya, iri dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh. Namun pada hakikatnya ia adalah orang yang pandai.

Lalu hamba Allah yang mampu mengekang hawa nafsu itu seperti apa?

Menurut guru saya, hamba Allah yang mampu mengekang hawa nafsunya, walaupun ia bodoh, pasti memiliki tiga karakter : sadar dirinya, tawadhu’ (rendah hati) pada sesama, dan mencari kebenaran dengan jujur.

Menurut ‘Ammar ra, jika tiga perkara berkumpul pada diri seseorang, maka ia telah benar-benar mengakumulasi keimanannya : sadar diri, menyiramkan kedamaian bagi semesta, dan menginfakkan hartanya walaupun ia miskin.

Siapa yang bersahabat dengan manusia model ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula : meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah, karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan mendapatkan keselamatan dunia dan agamanya.

Sementara orang yang rela dengan hawa nafsunya, akan melahirkan tiga sifat negatif. Kesombongan, tidak sadar dirinya dan aktif dengan rasa kebanggaannya. Bersahabat atau berguru kepadanya bisa melahirkan tiga hal pula : menjadi budaknya, membuat payah diri, dan terputus (tidak sampai tujuannya) akhirnya. Karena, ia mengklaim kebenaran dirinya, yang sesungguhnya tidak layak untuk itu. Karena itu ia tidak akan sampai meraih ridho Allah, tidak mendapatkan ampunan Allah, bahkan tdak mau kembali dalam segala hal kepada Allah.

Kalau kebetulan ia seorang yang ‘alim atau intelektual muslim, maka ilmu pengetahuannya justru akan memperburuk kepribadiannya. Sebaliknya kalau ia bodoh, maka kebodohannya menjadi bencana bai dirinya dan bagi sahabatnya. Kalau dia seorang pemimpin, sama sekali kepemimpinannya tidak bermanfaat bagi dunia, agama dan akhiratnya. Oleh karena itu, Sahl bin Abdullah menegaskan, ”Jauhilah tiga kelompok manusia : para pembaca al-Quran yang penuh gaya pamer, orang-orang sufi yang bodoh, dan orang-orang diktator yang alpa dengan dirinya sendiri.”

Hakikat kebodohan itu sendiri beredar pada tiga hal : lari dari kebenaran, mengikuti kebatilan, dan memutuskan aturan dengan cara yang salah. Dan inilah yang akan menimpa orang yang mengikuti hawa nafsu.

Sebaliknya, hakikat pengetahuan (ilmu) juga beredar pada tiga hal : beramal dengan benar, menjauhi kebatilan, dan memberikan porsi atas sesuatu sesuai dengan kelayakannya. Dan hal inilah yang akan dijumpai pada orang-orang yang tidak rela pada nafsunya.

Jadi seorang sahabat itu diharapkan memberikan tiga hal : nasihat, kasih sayang dan pertolongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar