Senin, 24 Oktober 2011

KH. Muntaha Al Hafidz : Sang Maestro al-Quran


Kiai ini bernama KH. Muntaha Alhafidz. Beliau biasa dipanggil Mbah Mun. Kiai Muntaha adalah ulama legendaris, dan Kharismatik yang dijuluki sang Maestro Al-Qur'an, yang pernah ‘dijadikan’ Kyai Khos oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di bawah naungan Yayasan Al-Asy'ariyyah, Mbah Mun memimpin pesantren dengan ribuan santri. Kiai hafal Al Quran ini memiliki karya fenomenal yaitu Al-Qur'an Akbar (Al-Qur'an terbesar di dunia) yang kini disimpan di bait Al-Qur'an Taman Mini Indonesia Indah.


Nama lengkapnya adalah KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Juli 1912 di Desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulai pengajian formal agamanya di Darul Ma'arif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah As-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Ma'arif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qira'ah di Pesantren Krapyak di bawah asuhan K.H. M. Munawwir Al Muqri Al Hafiz. Lalu beliau melanjutkan studinya di Pesantren Termas, Pacitan dengan mendalami ilmu hadits, fiqh dan tafsir di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.

Mbah Mun, selain mendapatkan ijazah hafidz dari beberapa kyai ternama pada masanya, juga berguru ke beberapa ulama besar pada zamannya. Bagi Mbah Mun, saat-saat paling berkesan adalah saat mondok di Kendal. Di pesantren ini, tidak saja diajarkan hidup sederhana, wara’ dan zuhud, tapi juga karena berat perjalanan yang harus di tempuh.

Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha Al-Hafiz tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palagan Ambarawa. Kiyai Muntaha Al-Hafiz juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai ide yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah.

Mbah Muntaha merupakan generasi ketiga pemegang pesantren tersebut. Pendiri pesantren ini adalah Kyai Abdurrahman, ulama seperjuangan Pangeran Diponegoro. Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya dikejar-kejar, Mbah Abdurrahman berhasil meloloskan diri, dan bersembunyi di lereng pegunungan Dieng –kelak, daerah ini menjadi desa Kalibeber sekarang. Di desa ini Mbah Abdurrahman menyebarkan dan mengajarkan Islam. Akhirnya, ketika para santri mulai berdatangan, cikal bakal pesantren Al Asy’ariyah berdiri.

Generasi kedua pesantren ini diasuh oleh sang putra, Kyai Asy’ari –nama yang kelak diabadikan oleh Mbah Muntaha untuk nama pesantren tersebut. Ternyata, pemilihan nama tersebut, bukan tanpa sebab. Tetapi karena kesan mendalam Mbah Muntaha atas perjuangan Mbah Asy’ari yang gigih membela rakyat dan Islam, terutama dalam konfrontasinya dengan Belanda.

Pada masa kemerdekaan, karena kecintaan Mbah Asy’ari terhadap rakyat dengan advokasi-advokasi kerasnya, dan kecintaannya terhadap kemerdekaan dan Tanah Air, Belanda merasa gerah. Mbah Asy’ari dikejar-kejar. Untuk menghindari penangkapan Belanda, Mbah Asy’ari mengungsi ke daerah lereng terjal pegunungan Dieng yang sangat sulit dijangkau orang, Dero Duwur. Belum sempat kembali lagi ke Kalibeber, Mbah Asy’ari terserang sakit, dan wafat di tempat persembunyian tersebut. Setiap menjelang Ramadhan, sudah menjadi tradisi, para santri Kalibeber diwajibkan untuk napak tilas perjuangan berat Mbah Asy’ari ini, dan sekaligus berziarah ke makam beliau. Tradisi napak tilas ini adalah sebuah tradisi yang sangat bermakna. Pada saat-saat napak tilas tersebut semangat patriotisme seakan-akan meledak. Luar biasa.

Sepeninggal Mbah Asy’ari, sebagai putra tertua, Mbah Muntaha mengambil alih estafet kepemimpinan pesantren warisan Mbah Abdurrahman tersebut, dan dirubah-namakan menjadi Al Asyari’ah. Pesantren ini tetap melanjutkan tradisinya sebagai pesantren penghafal Al Qur’an.

Kepada para santri Mbah Mun mewajibkan untuk bangun setiap jam 04.00 pagi yang masih dingin untuk sholat sunah dan menunggu datangnya shalat shubuh. Dalam setiap salat berjamaah Subuh, beliau akan jadi imam, bercelana training, berjubah longgar, berpeci putih, dan sorban bermotif hitam-putih seperti milik Yaser Arafat. Tanda khas lain Mbah Muntaha adalah, jika menjadi imam salat beliau akan secepat kilat, tuma’ninah dalam salat tidak sampai beberapa detik. Tetapi ketika salat sendirian, Mbah Mun akan berlama-lama rukuk dan sujud. Suatu saat seorang tamu iseng bertanya: “Mbah Mun, Panjenengan, kalau jadi imam, kok, begitu cepat. Kenapa?”
Sambil berseloroh, Mbah Muntaha menjawab: “Saya sengaja mempercepat, biar sebelum setan sempat menggoda, kita sudah selesai salatnya.”

Setelah sholat shubuh Mbah Mun kemudian segera kembali ke ndalem yang berjarak beberapa meter dari masjid. Lalu, kami mempersiapkan Al Qur’an untuk mengaji langsung dengan beliau. Beliau akan datang lagi ke masjid tak lama kemudian untuk mengajar. Setiap pagi para santri diajar bahasa Arab dan tafsir. Setengah jam berikutnya, giliran para santri penghafal Al Qur’an menyetor hafalan. Mbah Mun akan duduk di atas kulit bulu domba putih kering, dengan menghadapi meja pendek dan cukup lebar, bersila. Di sekeliling meja itu akan diputari para santri penghafal Qur’an dengan jumlah sekali waktu tidak kurang dari 10 orang. Jika salah seorang santri sudah selesai, santri tersebut akan mundur, dan santri berikutnya segera mengisi tempat kosong yang ada. Menariknya, meskipun dengan 10 orang santri menyetor hafalan dalam satu waktu, Mbah Muntaha bisa saja tahu siapa yang salah, dan bagian ayat mana yang tertukar-tukar. Selesai setoran hafalan santri putra, Mbah Mun segera beranjak menuju ke pengajian santriwati, di dalam asrama putri. Model setoran hafalan Al Qur’annya tidak jauh berbeda dengan para santri putra.

Sifat menonjol dari Mbah Mun adalah murah hati. Kesejahteraan warga setempat menjadi perhatian khusus Mbah Muntaha. Strategi ekonomi Mbah Muntaha dalam memberdayakan warga telah berhasil. Dengan berduyun-duyun ribuan santri yang datang mondok, pelan-pelan, ekonomi warga daerah Kalibeber dan sekitarnya menjadi makin terangkat. Arus uang masuk dari para wali santri ke Kalibeber tidak kemana-mana, tapi ke brankas warga Kalibeber. Mbah Mun melarang pihak pesantren membuat dapur umum. “Biarkan para santri makan di warung-warung dan di rumah warga, atau memasak sendiri,” ujar Mbah Mun suatu ketika. Ini sifat panutan Mbah Muntaha yang sangat membekas di masyarakat :  perilaku zuhud, ikhlas dan berkhidmah untuk umat. Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk Kalibeber, strategi ini adalah salah satu strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tepat. Sekarang ini, tenaga kerja di daerah tersebut terserap di lembaga pendidikan tersebut. Dulu, ketika penduduk Kalibeber belum banyak, Mbah Muntaha cukup dengan menyantuni saja, dan Mbah Muntaha sendiri mencukupkan diri dengan pesantren khusus penghafal Al Qur’annya yang sederhana, pesantren Al Asy’ariah.

Yayasan Asy’ariah saat ini menaungi berbagai lembaga pendidikan, antara lain : Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktivitas santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat banyak.

Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi judul "Tafsir al-Munthaha".

KH. Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia 92 tahun. Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan kepada beliau, guru-guru beliau dan semua muslimin dan muslimat.

Sumber : dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar